akidah dan ibadah :)
1.
PENDAHULUAN
Akidah menempati posisi terpenting dalam ajaran
agama Islam. Ibarat sebuah bangunan, maka perlu adanya pondasi yang kuat yang
mampu menopang bangunan tersebut sehingga bangunan tersebut bisa berdiri dengan
kokoh. Demikianlah urgensi akidah dalam Islam, Akidah seseorang merupakan
pondasi utama yang menopang bangunan keislaman pada diri orang tersebut.
Apabila pondasinya tidak kuat maka bangunan yang berdiri diatasnya pun akan
mudah dirobohkan.
Selanjutnya Ibadah yang merupakan bentuk
realisasi keimanan seseorang, tidak akan dinilai benar apabila dilakukan atas
dasar akidah yang salah. Hal ini tidak lain karena tingkat keimanan seseorang
adalah sangat bergantung pada kuat tidaknya serta benar salahnya akidah yang
diyakini orang tersebut. Sehingga dalam diri seorang muslim antara akidah,
keimanan serta amal ibadah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat antara
ketiganya.
Muslim apabila akidahnya telah kokoh maka
keimanannya akan semakin kuat, sehingga dalam pelaksanaan praktek ibadah tidak
akan terjerumus pada praktek ibadah yang salah. Sebaliknya apabila akidah
seseorang telah melenceng maka dalam praktek ibadahnya pun akan salah kaprah,
yang demikian inilah akan mengakibatkan lemahnya keimanan.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna,
sejak kelahirnya telah dibekali dengan akal pikiran serta perasaan (hati).
Manusia dengan akal pikiran dan hatinya tersebut dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang benar, dapat mempelajari bukti-bukti kekuasaan Allah,
sehingga dengannya dapat membawa diri mereka pada keyakinan akan
keberadaan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak
mengakui keberadaan Allah SWT. karena selain kedua bekal yang dimiliki oleh
mereka sejak lahir, Allah juga telah memberikan petunjuk berupa ajaran agama yang
didalamnya berisikan tuntunan serta tujuan dari hidup mereka di dunia.
2.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian akidah?
2.
Apa pengertian ibadah?
3.
Bagaimana iman sebagai dasar amal ibadah?
4.
Bagaimana Tauhid sebagai fitrah manusia?
3.
PEMBAHASAN
a)
Pengertian akidah
Akidah secara bahasa artinya ketetapan yang
tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Kata akidah
berasal dari kata “al-‘aqdu” yang berarti; ar-rabth (ikatan), al-Ibraam
(pengesahan), al-ihkam (penguatan), al-tawassuq (menjadi kokoh, kuat), al-syaddu
biquwwah (pengikatan dengan kuat), al-tamaasuk (pengokohan) dan al-isbaatu
(penetapan). Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa al-aqdu juga mempunyai
arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
Selanjutnya menurut DR. Kaelany HD, MA yang
dimaksud Akidah dalam agama Islam yaitu suatu istilah untuk
menyatakan “kepercayaan” atau Keimanan yang teguh serta kuat dari seorang
mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta. Makna dari keimanan
kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu
kepercayaan, pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan
penyembahan selain kepada Allah.
Akidah mempunyai kedudukan yang amat sangat
penting dalam kehidupan beragama seorang muslim. Karena dasar benar atau
salahnya amal ibadah serta keimanan seseorang adalah terletak pada benar
salahnya akidah orang tersebut. Sehingga apabila akidah seseorang telah
melenceng maka dapat dipastikan bahwa keimanannya pun lemah demikian pula
dengan amal ibadahnya, kemungkinan besar salah.
Oleh karena itu maka wajar apabila para ulama
sering mengibaratkan akidah dalam keislaman seseorang seperti pondasi pada
suatu bangunan. Yang mana apabila pondasi bangunan tersebut kuat, maka bangunan
tersebut dapat berdiri tegak dengan kokoh.
Demikian besarnya pengaruh dan peranan akidah
dalam ajaran Islam. Maka wajar apabila dahulu pada awal penyebaran Islam
Rasulullah SAW selama kurang lebih tiga belas tahun dakwahnya di Makkah hanya
berkonsentrasi penuh pada masalah akidah.
b)
Pengertian Ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan
diri serta tunduk.
Sedangkan menurut terminologi, ibadah mempunyai
beberapa definisi, namun masih dengan makna dan maksud yang sama. Beberapa
definisi mengenai ibadah tersebut antara lain:
1)
Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan
para Rasul-nya (ittiba’ nabi)
2)
Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah SWT, yaitu pada tingkatan tunduk
yang paling tinggi (hudhu’) dengan disertai dengan rasa kecintaan yang
paling tinggi (mahabbah).
3)
Ibadah adalah segala sesuatu yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zahir maupun
yang bathin.
Dari beberapa pengertian diatas dapat
kita ambil kesimpulan bahwa inti dari ibadah adalah melakukan suatu amal yang
karena Allah semata. Ketika seorang hamba menjauhi sesuatu yang dilarang Allah
maka hal tersebut dinyatakan sebagai ibadah. Ketika dia melaksanakan
perintahnya itu pun adalah ibadah. Dan bahkan perbuatan yang tidak ada perintah
ataupun larangan tentangnya apabila dilaksanakan dengan niat untuk mencari
keridhaan dan dengan dasar kecintaannya kepada Allah, yang demikian ini pun
dinilai sebagai ibadah.
Ibadah terlebih ibadah yang bersifat mahdhah
tidak boleh dilakukan dengan sembarang menurut pemahaman diri kita sendiri,
namun harus sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Dalam kitab Syarh Akidah
Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas berkata bahwa
ibadah dinyatakan benar apabila telah memenuhi dua syarat, yakni; Ikhlas karena
Allah semata dan Ittiba’ nabi (sesuai dengan tuntunan nabi).
Beliau juga mengatakan bahwa ibadah seseorang
muslim hendaknya berlandaskan pada tiga pilar, yaitu; hubbullah (cinta),
khauf billah (takut) dan raja’ ilallah (harapan).
Rasa cinta (hubb) harus diikuti dengan
rasa rendah diri (hudhu’), sedangkan khauf harus diiringi dengan raja’.
Hal ini karena menurut sebagian salaf bahwa barang siapa yang beribadah hanya
karena rasa cinta saja maka dia adalah zindiq, sedangkan orang yang
beribadah hanya karena raja’ saja maka di adalah termasuk golongan murji’ah.[1]
c)
Iman Sebagai Dasar Amal Ibadah
Di dalam agama Islam, suatu amal ibadah
dinyatakan sah apabila diikuti dengan niat yang benar. Niat suatu amal ibadah
dinyatakan telah benar apabila landasan dan tujuannya adalah karena Allah SWT
semata dan ittiba’ rasul SAW. Niat yang demikian ini tidaklah dapat
direalisasikan tanpa adanya keimanan di dalam diri pelakunya. Sehingga dapat
dipastikan bahwa amal ibadah orang-orang yang tidak beriman baik karena kafir
maupun yang rusak keimanannya karena syirik, tidak akan diterima.
Berkaitan dengan persoalan di atas, terdapat
sepotong ayat pada surat al-Taubah yang sedikit kurang menyinggung mengenai hal
tersebut;
“Maka apakah orang-orang yang membangun
bangunan (masjid) atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya adalah lebih
baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang
runtuh , lalu (bangunan) tersebut roboh bersama dia ke dalam neraka jahannam.” (QS. At Taubah
:109)
Syaikh As Sa’diy memberikan penjelasan dalam
tafsirnya mengenai ayat tersebut, “Maksud dari membangun bangunan (amal
ibadah) atas dasar taqwa adalah ‘atas dasar niat yang sholeh dan keikhlasan
kepada Allah."
Kemudian dibagian lain dalam kitab karangannya Taisir
Karimirrahman, beliau juga menjelaskan bahwa “Sesungguhnya iman
merupakan syarat sah dan diterimanya amal sholeh. Dan sebuah amal tidaklah
dikatakan sebagai amal yang sholeh melainkan jika didasari dengan iman.”
Sedangkan menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah
mengenai penafsiran ayat diatas dalam kitab Al-fawaid miliknya adalah sebagai
berikut: “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah
dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya.
Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan
kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan
pondasinya adalah iman”
Kemudian beliau melanjutkan, “Adapun pondasi
tersebut mencakup dua perkara : Pertama adalah pengenalan yang
baik seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seluruh perintah-Nya, nama dan
kepada sifat-sifat-Nya yang mulia, dan yang kedua adalah ketundukan yang
sempurna kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam”[2]
d)
Tauhid Sebagai Fitrah Manusia
Tauhid merupakan fitrah pada diri manusia, yang
mana Allah SWT telah menciptakan dalam diri mereka tendensi natural
(kecenderungan alamiah) untuk mengikuti fitrah tersebut.
Rosulullah SAW. bersabda,
"Setiap anak yang lahir, dilahirkan
atas fitrah, kemudian kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi atau
Nashroni atau Majusi" (HR.Al-Bukhori)
Fitrah secara bahasa berasal dari kata fa-ta-ra,
yang mempunyai banyak arti. Beberapa yang sering kita dengan antara lain; sifat
dasar/natural, watak/karakter, penciptaan, ciptaan, agama, alami, insting dan
primitif.
“Fitrah” yang terdapat pada lafaz hadis
diatas, menurut sebagian besar ulama mengartikan bahwa yang dimaksud dengan “fitrah”
yakni berkeyakinan tauhid (Islam). Sehingga dengan “fitrah”-nya
tersebut manusia cenderung akan berusaha mencari petunjuk dan bukti untuk
menguatkan keyakinannya akan ketauhidan Tuhannya.
Namun, menurut sebagian ulama lainnya bahwa
justru yang dimaksud dengan “fitrah” yaitu sifat dasar manusia untuk
berfikir dan menganalisa (akal fikiran manusia). Sehingga dengan akal fikiran
tersebut mereka dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, dapat
menganalisa sebab akibat dari suatu masalah, dapat mempelajari tanda kekuasaan
Allah SWT yang terlihat olehnya, dan dapat merenungkan tujuan dirinya
diciptakan di dunia. Sehingga dengan akal fikiran tersebutlah manusia dapat
menyimpulkan akan keberadaan serta ketauhidan Tuhan.
Berkaitan dengan hadis diatas, di dalam
Al-Qur’an pun telah dijelaskan mengenai fitrah manusia yang dengannya setiap
manusia memiliki kecenderungan natural untuk mentauhidkan Allah SWT, seperti
halnya yang terdapat dalam surat al-Ruum ayat 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Yang demikian itulah
merupakan agama yang benar, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya"
(Ar-Ruum:30)
Ayat diatas menjelaskan bahwasanya tujuan
manusia diciptakan tidak lain karena fitrah Allah, yang mana dapat kita ketahui
bahwa fitrah Allah adalah sebagai Tuhan Pencipta, Pemelihara dan Pemilik
semesta Alam. Sehingga jika tujuan penciptaan manusia adalah karena fitrah
Allah tersebut, maka tujuannya adalah tidak lain untuk menyembah-Nya semata.
Oleh karena itu di dalam ayat tersebut Allah secara langsung menyeru kepada
manusia untuk kembali kepada Agama yang lurus yakni Islam. Namun demikian
sebagaimana yang dinyatakan didalam ayat tersebut, banyak orang yang tidak tahu
ataupun tidak mau tahu dengan agama Allah tersebut.
Manusia selanjutnya ada yang mendapat
petunjuknya sehingga dapat meniti jalan yang benar. namun banyak pula yang
gagal dan tersesat pada ajaran-ajaran lain yang membawanya ke dalam kekufuran.
Hal ini dikarenakan ada hambanya yang mau memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya
serta mau membuka hatinya untuk menerima kekuasaan-Nya sehingga akhirnya dia
menemukan siapakah Tuhannya dan apakah tujuan penciptaan dirinya. Namun banyak
pula yang tak acuh sehingga akalnya tidak ia gunakan untuk mencari-cari serta
mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, sehingga wajar apabila
selanjutnya dia masuk kedalam pemahaman yang keliru ataupun kekufuran.[3]
Mengenai hal tersebut Allah Azza wa Jalla
sebenarnya telah memberitahukan dalam Al-Qur’an:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”
(al-Syams 7-8)
Dan disurat lain:“Sesungguhnya kami Telah
menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”
(al-Insaan 3)
4.
PENUTUP
a)
Simpulan
v Akidah adalah
merupakan pondasi utama kehidupan keislaman seseorang. Apabila pondasi utamanya
kuat, maka bangunan keimanan yang terealisasikan dalam bentuk amal ibadah orang
tersebut pun akan kuat pula.
v Amal ibadah
tidak akan bisa benar tanpa dilandasi akidah yang benar. amal ibadah dinilai
benar apabila dilakukan hanya untuk Allah semata dengan ittiba’ Rasul
SAW.
v Manusia diberi
bekali akal pikiran agar dengan akal pikiran tersebut mereka dapat membedakan
mana yang hak dan mana yang batil, mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah,
menganalisa hakikat kehidupannya sehingga dia tahu arah dan tujuan dirinya
diciptakan di dunia. Akal pikiran dan perasaan inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk-makhluk lain. Oelh karena itu manusia dipercaya untuk menjadi khalifah
Allah di Bumi.
b)
Saran
Kami sangat menyadari
akan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah ini. Baik dari segi ilmunya
maupun dari segi penulisannya. Itu semua disebabkan kurangnya referensi yang
digunakan dan kurangnya pengalaman penulis. Untuk itu, apabila ada kritikan
maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan, agar di
penulisan berikutnya kami dapat memperbaikinya.
DAFTAR PUSTAKA
As, Asmaran . 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Nata,
Abbudin. 2006. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ash Shiddieqy, Hasbi.
1977. Al Islam I, Jakarta: Bulan Bintang.
Komentar