akad ganda
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini
perkembangan perekonomian islam sangat pesat, dimana banyak melahirkan
produk-produk baru yang menjadikan daya saing dan daya tarik tersendiri untuk
para konsumen nya. Akhir-akhir ini muncul produk baru yang menggunakan sistim
akad berlapis atau sering disebut juga multiakad.
Penggabungan
dua akad atau lebih menjadi satu akad dalam fiqih kontemporer disebut al-'uqud
al-murakkabah (akad rangkap/multiakad).[1]
Terdapat khilafiah
(perbedaan pendapat) diantara para ulama, ada yang membolehkan ada juga yang
mengaharamkanya.
Dalam maklaha ini,
kami akan mencoba mengkaji sedikit tentang hukum multiakad dan beberapa hadist
yang berhubungan dengan multiakad.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dari beberapa pemikiran uraian yang telah kelompok paparkan pada
latar belakang, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
itu multiakad?
2.
Bagaimana
penerapan multiakad?
3.
Bagaimana
kajian Hadist tentang multiakad?
4.
Bagaimana
hukum mukti akad?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
multiakad
Istilah Multi Akad adalah terjemahan bahasa Indonesia dari
istilah-istilah aslinya dlm bahasa Arab, yaitu al ‘uqud al
murakkabah, al ‘uqud al maliyah al murakkabah, al
jam’u bayna al ‘uqud, damju al ‘uqud.[2]
Istilah Multi Akad menurut penggagasnya adalah kesepakatan dua
pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih,
misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dan
sebagainya, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu
dan semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dianggap satu kesatuan yang
tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum
dari satu akad.[3]
B.
Contoh
Penerapan Multi Akad
As Sarkhosi (hanafiyah) dalam Al Mabsuth menyatakan: “Jika
dua orang bersepakat untuk membagi sebuah rumah (dengan jual-beli) dengan
syarat salah satu dari keduanya bisa memiliki rumah temannya seharga seribu
dirham, maka pembagian dengan syarat seperti itu batal, karena di dalamnya
terdapat pengertian jual-beli, sementara jika (jual-beli) ini menjadi syarat
bagi jual-beli (yang lain) maka ia akan membatalkannya, disebabkan adanya
larangan dari Nabi saw. terhadap dua transaksi dalam satu transaksi.
An Nawawi (Syafi’iyah) dalam Al Majmu’ mencontohkan praktek
dua transaksi dalam satu transaksi, “seseorang berkata, “aku jual barang ini
dengan harga sekian asalkan engkau mau menjual rumahmu kepadaku dengan harga
sekian”.
Sementara itu dalam kitab Madzhab Hambali, Al Mughni,
dinyatakan: Apabila penjual berkata, “aku jual (barang ini) kepadamu dengan
harga sekian asalkan aku boleh membeli rumahmu dengan harga sekian”, maka
jual-beli tersebut tidak terakadkan, demikian juga jika ia membelinya
menggunakan emas dengan syarat bisa membeli beberapa dirham darinya dengan
suatu transaksi shorf (tukar uang) yang dia sebutkan.” Ibnu Qudamah
menjelaskan: “maka (dalam contoh ini) terjadilah dua jual-beli dalam satu
jual-beli. Ahmad berkata: kami sependapat dengan pandangan ini. Abu Hurairah
telah berkata: “Rasulullah saw melarang dua jual-beli dalam satu jual-beli”,
hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi dan dia mengatakan, “(hadits ini) hasan
shohih“. Hadits serupa diriwayatkan juga dari Abdullah bin Umar dari Nabi
saw. Hukum yang sama berlaku bagi semua akad yang semakna, misalnya penjual
berkata “aku jual rumahku ini kepadamu dengan syarat kamu mau membeli rumahku
yang lain dengan harga sekian, atau dengan syarat engkau menjual rumahmu
kepadaku, atau dengan syarat engkau mau memperkerjakanku dengan gaji sekian,
atau dengan syarat engkau mau menikahkanku dengan putrimu, atau dengan syarat
engkau mau menikahi putriku, atau yang semisalnya. Semua itu tidak sah. Ibnu
Mas’ud berkata,”dua akad dalam satu akad adalah riba”, ini adalah pendapat Abu
Hanifah, Asy Syafi’i dan mayoritas ulama.”[4]
C.
Beberapa Hadist Tentang Multiakad
Beberapa
ikhtilaf atau perbedaan pendapat yang ada, di antaranya di landasi dengan
beberapa dasar hukum yang bersumber dari nash dan hadist yang membahas tentang
bagaimana hukum multiakad atau akad ganda.
Dalil pendapat pertama, antara lain kaidah
fiqih :
الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على
تحريمها
“Hukum asal
muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Berdasarkan
kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak dalil yang
melarangnya.
Terdapat pula
hadist-hadist yang tidak memperbolehkanya,

نهاني رسول الله
-صلى الله عليه وسلم - عن أربع خصال في البيع : عن سلف وبيع، وشرطين في بيع، وبيع
ما ليس عندك، وربح ما لم تضمن
”Nabi SAW telah melarangku dari empat macam
jual beli, yaitu menggabungkan salaf dan jual beli, dua syarat dalam satu jual
beli, menjual apa yang tidak ada di sisimu, mengambil laba dari apa yang kamu
tak menjamin (kerugiannya)” (HR Thabrani)

نهى عن بيعتين في بيعة
”Nabi SAW telah
melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR Tirmidzi, hadis sahih)

لا يحل سلف وبيع، ولا شرطان في بيع
“Tidak halal
menggabungkan salaf dan jual beli, juga tak halal adanya dua syarat dalam satu
jual beli.” (HR Abu Dawud, hadis hasan sahih)

نهى عن صفقتين في صفقة واحدة
”Nabi SAW telah
melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad].” (HR Ahmad,
hadis sahih)
Hadis-hadis di
atas telah melarang penggabungan (ijtima’) lebih dari satu akad ke dalam
satu akad.
Dari dua
pendapat di atas, pendapat yang kuat (rajih) adalah pendapat kedua, yaitu yang
mengharamkan multi akad.
1)
dalil-dalil hadis yang ada dengan jelas telah
melarang penggabungan dua akad atau lebih ke dalam satu akad.
Di antaranya adalah hadis Ibnu Mas’ud RA :
نهى عن صفقتين
في صفقة واحدة
”Nabi SAW telah
melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad).” (HR Ahmad,
hadis sahih)
Imam Taqiyuddin An Nabhani,
menjelaskan bahwa dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi
shafqah wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu
akad. Misal menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual
beli digabung dengan akad ijarah.
2)
kaidah fiqih yang dipakai pendapat yang
mengharamkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah tidak tepat.
Karena ditinjau dari asal usul kaidah itu,
kaidah fiqih tersebut sebenarnya cabang dari (atau lahir dari) kaidah fiqih
lain yaitu :
الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal
segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan.”
Padahal kaidah
fiqih tersebut (al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah), hanya berlaku untuk benda
(materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah (sebab muamalah bukan benda,
melainkan aktivitas manusia.
Mengapa dikatakan
bahwa kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda? Sebab nash-nash yang mendasari
kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah:29) berbicara
tentang hukum benda (materi), bukan tentang mu’amalah.
3)
kaidah fiqih al ashlu fil muamalat al ibahah
juga bertentangan dengan nash syara’ sehingga tidak boleh diamalkan. Nash
syara’ yang dimaksud adalah hadits-hadis Nabi SAW yg menunjukkan bahwa para
sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW dalam muamalah mereka.
Andaikata hukum asal muamalah itu boleh, tentu para shahabat akan lagsung
beramal, dan tak akan bertanya kepada
Rasulullah SAW. Sebagai contoh, hadits yg menunjukkan sahabat bertanya kepada
Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sbb :
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه قال قلت يا
رسول الله إني أشتري بيوعاً فما يحل لي منها وما يحرم عَلي قال : فإذا اشتريت
بيعاً فلا تبعه حتى تقبضه
Dari Hakim bin
Hizam RA, dia berkata,”Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku
banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang haram bagiku?’
Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjualnya
lagi hingga kamu menerima barang itu.” (HR Ahmad).
IV.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari pemaparan
di atas dapat kita simpulkan, Multiakad adalah kesepakatan dua belah pihak
untuk melakukan suatu muamalah yang melibatkan dua akad atau lebih, misalnya
akad jual beli dan ijarah, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan kita
sehari-hari tanpa kita sadari dan tanpa kita mengerti bagaimana hukum multiakad
tersebut kita telah banyak mempraktekanya. Ada beberapa ulama yang berbeda
pendapat mengenai hukum akad muamalah yang satu ini, banyak yang mengkaji
dengan berbagai dasar hukum yang mereka paparkan, dari beberapa hadist yang telah tertera di
atas kita dapat mentarjih dan menyimpulkan bahwa hukum multiakad ini yaitu
lebih kuat pendapat para jumhur ulama yang mengharamkanya.
Wallahua’alam.
2.
Saran
Demikian makalah kami susun, semoga
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pada kami khususnya. Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna dan tentu masih banyak
kesalahan, kejanggalan dan kehilafan serta kekurangan disana sini. Tapi ini
bukanlah halangan untuk memahami hadist tentang multiakad, justru ini akan
menjadi pendorong semangat dalam mengejar pengetahuan di maksud untuk di
kuasai secara utuh.
Akhirnya, kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah ini, kami
harapkan. Untuk menjadi bahan contoh dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Daftar Pustaka
Hammad, Nazih, Al-'Uqud Al-Murakkabah fi
al-Fiqh al-Islami, Jakarata: Amzah, 2001.
Al-’Imrani, Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah
al-Murakkabah, Bandung: Pustaka Amanah, 1999.
transaksi
(Muslim 3/1565, Nasa’i 7/4674, Ibnu Majah 2/2477)
Syandi, Ismail, Musyarakah Mutanaqishah, Jakarta: Amzah 1998
http://www.titokpriastomo.com/fiqih/bolehkah-menggabungkan-beberapa-akad-dalam-satu-paket.html
[1] Nazih Hammad, Al-'Uqud
Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, Jakarata:Amzah, 2001 Hlm. 7
[2] Ibid, Hlm 7-9
[3] Abdullah
al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, Bandung: Pustaka Amanah,
1999 Hlm. 46
[4] http://www.titokpriastomo.com/fiqih/bolehkah-menggabungkan-beberapa-akad-dalam-satu-paket.html
Komentar