pagi di desa
Matahari
mulai memmahkotai dirinya dengan sinarnya, setelah meminta bulan untuk
beristirahat di peraduhan. Baris-baris sinarnya yang putih pucat memberi salam
pada daun-daun, dan selarik sinarnya mengecup bibir bunga hingga terbangun dari
tidurnya. Kehangatannya yang mulai terasa, mengepakkan sayap-sayap burung untuk
membelah angkasa, menjemput rezeki dengan paruh-paruhnya. Sepasang srigunting
berceloteh riang disebuah ranting seperti tengah menyusun rencana untuk
melumpuhkan capung yang sedang terbang rendah di bawah mereka. Salah satunya
tiba-tiba melesat. Dan sekali melebat ia telah kembali ke ranting lalu mempersembahkan
tangkapan itu kepada kekasih di sampingnya. Bunga-bunga bermekaran,
kuncup-kuncup kembang terbuka, mempersilahkan embun-embun agar beristirahat
dipelukan tanah. Kabut-kabut tipis yang menyelimuti perbukitan mulai merapatkan
barisan, lalau melebur bersama terang alam, sirna bersama kehadiran wajah bulat
mentari.
Di
bawah bukit, kehidupan mulai menggeliat setelah embun-embun suci membasahi
wajahnya. Satu per satu orang-orang keluar menuju ladang sawah. Tanah-tanah
rindu dibelai cangkul dan dialiri air. Hamparan emas biji-bijian padi yang
menggantung seakan sudah tak sabar menunggu tangan-tangan petani untuk
menuainya. Anak-anak pengembala menggiring domba, sapi, dan kerbau menuju
ladang rerumputan, menhampiri rumput yang menghasratkan kedatangan kekasih
ternaknya.
Di
ruas-ruas jalan, beberapa ibu dengan beban di punggung berjalan agak membungkuk
menuju pasar. Seperti biasa, mereka akan segera bertemu dengan orang-orang,
berlindung di balik pasrah, dan bermahkotakan harapan menjual hasil-hasil sawah
dan ladang. Sesekali mereka berpapasan dengan kaum pria yang berjalan cepat
tanpa alas kaki dengan cangkul berada di pundaknya.
Gadis-gadis
berjilbab putih dengan pancaran cahaya riang membelah jalan untuk megejar
mimpi, menuntut ilmu di sekolah masing-masing. Bibir-bibir mereka
menyunggingkan senyum, seakan mimpi itu begitu nyata dan sesekali merengkuh
akan tergapai. Lesung pipi diantaranya menambah indah gaun pagi yang masih
dibusanai oleh hawa dingin diantara kehangatan sang surya. Hasrat mereka untuk
segera mencapai mimpi begitu terang menyala, ditingkahi rasa haus akan ilmu dan
rindu petuah-petuah bijak dari sang lidah manis.
Pagi
yang menghantarkan siang memberi nafas kebangkitan, menyorong semangat warga,
bergumul memenangkan hidup, berkuyuh dalam kucuran sang surya. Memang
demikianlah seharusnya kehidupan. Kehidupan menyediakan wajahnya untuk dibelai
dan membiarkan sepasang matanya untuk dikecup. Mereka yang menatap kehidupan
dengan semangat dan cinta kasih akan disambut dengan pelukan hangat. Tetapi
mereka yang bermalas-malasan akan mencekik diantara tebing-tebingnya yang
curam.
*pagi
di desa..
Gunung
pati, Juni 2014
-Millaturrofi’ah-
Komentar